Penegak hukum di Indonesia, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat melakukan upaya paksa sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Ormas tidak boleh melakukan langkah upaya paksa dengan alasan penegakan fatwa. Mengawal fatwa untuk sosialisasi dan berkoordinasi dengan pemerintah boleh. Akan tetapi, kalau melakukan langkah sendiri tidak boleh," ujarnya.
Disebutkan, jika penegak hukum seperti Kepolisian RI melakukan upaya paksa kepada orang lain, misalnya mengambil barang, digolongkan pada tindakan menyita. Jika masuk ke dalam tempat, misalnya mal untuk memeriksa, dinamakan menggeledah.
Akan tetapi, lanjutnya, jika bukan lembaga penegak hukum, misalnya ormas mengambil barang, tindakan itu dinamakan perampasan dan pencurian. Jika bukan lembaga penegak hukum memeriksa tempat lain, tindakan itu bukan menggeledah, melainkan memasuki tempat lain dengan tidak sah maka masuk ke ranah kriminalitas.
Apalagi, kalau memaksa menyandera orang, akan dikenai pidana penyanderaan, penganiayaan. Sementara itu, bagi Polri, tindakan itu disebut sebagai penangkapan.
Dengan demikian, kata Kapolri, maka tindakan sweeping yang dilakukan ormas tertentu tidak dibenarkan menurut hukum.
Kapolri Tito Karnavian mengatakan bahwa MUI mengeluarkan fatwa tentang tentang haramnya Muslim menggunakan atribut non-Islam karena adanya permintaan dari beberapa ormas.
"Fatwa ini tidak bersifat mengikat seluruh masyarakat Indonesia, tetapi kepada peminta fatwa saja. Kemudian yang menegakkannya harus dilakukan sosialisasinya oleh umaroh, berarti pemerintah di antaranya polisi pemerintah daerah," tuturnya.
Editor: Fitri Supratiwi
COPYRIGHT © ANTARA 2016
0 Response to "Kapolri: ormas bukan penegak hukum"
Posting Komentar