JAKARTA - Tantangan baru terus hadir di usia kemerdekaan Indonesia yang ke-71. Salah satu tantangan itu ialah di bidang keamanan cyber.
"Bila dulu berjuang melawan penjajahan wilayah, kini kita berjuang melawan penjajahan informasi," kata Pakar Keamanan Cyber dan Komunikasi, Pratama Persadha, Rabu (17/8).
Menurut dia, kini tantangan penjajahan informasi di depan mata. Betapa tidak, kata dia, hampir seluruh akses komunikasi yang digunakan saat ini dikuasai asing. Bahkan operator kerap mengeluh bagaimana mereka yang membangun infrastruktur komunikasi, akhirnya kalah dengan layanan over the top (OTT) seperti Whatsapp dan Facebook.
Tanpa membangun infrastruktur, layanan OTT tersebut bisa mengeruk untung triliunan rupiah setiap tahun dari penggunanya di tanah air. "Apalagi layanan tersebut tidak membayar pajak sama sekali, karena tidak punya badan hukum di Indonesia," kata Pratama.
Dia menjelaskan, sudah ada pergeseran model penjajahan. Sekarang ini, untuk mengeruk uang negara lain, tidak perlu lagi menjajah secara fisik wilayah.
Penjajahan model baru ini tidak selalu dilakukan oleh negara-negara maju. Kini korporasi yang kuat bisa melakukan penjajahan informasi. "Ini efeknya luar biasa, bisa mempengaruhi stabilitas politik, ekonomi dan keamanan sebuah negara,” jelasnya.
Pratama menjelaskan, layanan OTT ini kini sangat powerfull dan bisa mengeruk uang dari negara mana saja. Untuk Indonesia saja, Facebook tiap bulannya bisa mengeruk lebih dari Rp 500 miliar setiap bulannya dan terus bertambah.
“Pemerintah harus punya grand design menghadapi tren bisnis seperti ini. OTT ini banyak yang tidak berbadan hukum di Indonesia, namun punya pengguna dan income yang sangat besar dari Indonesia,” kata Chairman Communication and Information System Security Research Center ini.
Menurutnya, ini jelas tidak sesuai dengan keinginan pemerintah untuk menarik sebanyak mungkin uang warga negara Indonesia di luar negeri. Karena di saat yang bersamaan begitu banyak potensi devisa yang disedot oleh asing.
“Itu baru dari segi ekonomi. Bayangkan dari segi keamanan, dengan edukasi yang minim saat ini Indonesia rawan menjadi serangan asing. Kita tidak tahu, sebenarnya data yang kita simpan di cloud maupun dikirim lewat email gratisan itu diapakan oleh mereka,” jelas pria asal Cepu jawa Tengah ini.
Pratama mencontohkan Tiongkok, yang berani menolak Google dan Facebook masuk ke negaranya, karena tidak mau mematuhi aturan di Negeri Tirai Bambu tersebut. Namun bukan berarti rakyatnya tidak bisa menikmati media sosial dan email. Karena pemerintah di sana sudah menyiapkan aplikasi alternatif seperti Baidu, Weibu dan QQ.
“Kuncinya, pemerintah mau dalam jangka menengah membangun aplikasi dan layanan yang dibutuhkan masyarakat. Mulai dari email, cloud, messenger dan aplikasi lainnya. Dengan memakai produk sendiri, masyarakat juga bisa diarahkan untuk berpindah secara bertahap,” terangnya.
Pratama sendiri melihat ini potensi bagus. Di mana pemakai internet Indonesia terus bertambah. Namun harus diikuti oleh kesiapan pemerintah menyiapkan SDM, layanan dan aplikasi lokal yang mudah dipakai dan bermanfaat, sehingga mudah diterima masyarakat.
Membangun aplikasi maupun infrasruktur cyber harus diikuti oleh membangun kesadaran keamanan cyber. Jadi di setiap langkah yang diambil pemerintah, selalu memperhatikan keamanan. "Jangan sampai seperti e-Goverment milik Estonia yang di tahun 2007 lumpuh karena diserang hacker asal Rusia,” jelas mantan Plt Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara ini.
Karena itu, Pratama menambahkan perlunya ditingkatkan kemampuan cyber intellgence. Pemerintah bisa mendeteksi potensi serangan cyber. Untuk itu ke depan instansi intelejen terkait bisa proaktif bersama badan yang mengurusi keamanan cyber untuk melakukan perekrutan programmer andal. "Tujuannya bukan untuk memata-matai warga sendiri, namun memetakan potensi serangan cyber," pungkasnya. (boy/jpnn)
0 Response to "Siapkah Indonesia Melawan Penjajahan Informasi? Baca Dulu Ini-JPNN.com"
Posting Komentar